“Selamat berkarya….”

Sungguh bukan ucapan yang lazim. Terlebih jika itu dilontarkan oleh seorang ayah pada anaknya. Tapi ucapan itulah yang muncul dari mulut mendiang Bapak Sriyantho beberapa bulan sebelum beliau mangkat pada anaknya, Pongki Barata.

Bagi Pongki sendiri, ucapan itu seperti sebuah kesimpulan yang merangkum hampir seluruh hidupnya hingga saat ini. Sekaligus pengingatnya untuk tidak berhenti untuk melakukan apa yang diyakini dan telah dijalaninya selama ini. Yaitu berkarya lewat musik.

Meniti karir dan akhirnya meraih sukses bersama Jikustik, namanya pun otomatis ikut terangkat. Tak hanya sebagai vokalis bersuara khas, melainkan juga songwriter yang sukses menelurkan beberapa hits bagi penyanyi lain.

Ketika kemudian harus hengkang dari band bentukannya itu karena satu dan lain hal, dalam hitungan bulan dia membentuk The Dance Company (TDC). Sampai level tertentu, proyek all-stars ini bisa dibilang sukses. Sementara itu, dia juga giat mengasah diri sebagai produser bagi beberapa penyanyi maupun band.

Sunrise adalah buah berikutnya dari perjalanan musikal Pongki. Disiapkan sejak 2007, album solo ini baru menemukan bentuk dan mulai dikerjakan pada 2008. Pelan-pelan memang. Tapi bukan lantaran kemalasan jika album ini baru dirilis sekarang.

“Di kondisi yang serba cepat seperti sekarang, momentum adalah segalanya. Dengan pertimbangan itu juga aku lebih memilih untuk membangun The Dance Company terlebih dulu, ketimbang merilis album solo,” bilang Pongki.

Terbukti, lanjutnya, pilihan itu tak salah. The Dance Company berhasil meneruskan pamornya paska-Jikustik. Walau masih tetap identik dengan Jikustik, namun perlahan tapi pasti, nama Pongki mulai direken sebagai entitas tersendiri. Untuk menegaskan itu pula, dia akhirnya merasa perlu merilis album solo.

Tapi tentu bukan hanya itu alasannya.

“Buat aku (album solo) fungsinya adalah sebagai petualangan musikal. Dan dalam konteks berkarya, sebuah petualangan itu penting artinya…, ” jelas Pongki.

Tak heran jadinya, kalau apa yang tersaji di Sunrise terdengar berbeda dengan apa yang pernah dibuat Pongki bersama Jikustik, artis lain, bahkan dengan The Dance Company sekalipun. Walaupun harmonisasi nada-nada “empuk” ala Pongki masih terasa di sana-sini.

Masih bersetia dalam kaidah pop, adalah modern-country yang dijadikan balutan musiknya di album ini. Itu bisa langsung terasa dengan dominasi suara clean dari gitar akustik, ditingkah besetan gitar slide, tonal-tonal crunch juga jangly yang bertebaran di delapan lagu baru yang terkemas di album ini. Tak lupa beat polka atau petikan chicken-picking yang memang lazim dimainkan di kancah country.

“(Gitar) akustik itu sederhana, sekaligus juga merupakan the soul of my songwriting…,” jelas Pongki mengenai pemakaian gitar akustik yang dominan itu.

Sementara soal kehadiran unsur country yang kental tak lain lantaran ketertarikannya dengan musik jenis ini sejak hampir 10 tahun lalu. Ini dipicu kesukaannya pada Bryan Adams dan Richard Marx yang kerap mengelaborasi elemen-elemen country pada musik mereka.

Di sektor liris, Pongki kembali mempertontonkan apa yang menjadi kekuatan lirik-liriknya selama ini. Yaitu kelihaian memainkan logika alur cerita serta menangkap fragmen-fragmen dalam hidup. Dia membuktikan bahwa jika semua itu masuk akal, disampaikan dalam kalimat dan kata yang sederhana-tanpa bunga-bunga pun akan tetap mengena.

Coba saja simak Aku Milikmu Malam Ini. Dengan sederhana, manis namun cerdas, liriknya menggambarkan “kelelakian” tanpa harus jadi over-chauvinis atau justru cengeng. Begitupun dengan Dalam Pelarian yang intinya juga menunjukkan sikap “lelaki” yang tengah berontak tanpa harus berteriak. Sederet lirik di lagu lain pun (I Miss You, atau Tanpamu Tanpamu) juga menyuatkan pesan seperti itu. Pesan yang optimis, persis seperti ketika Matahari datang di pagi hari. Yang notabene jadi alasan kenapa album ini dijuduli Sunrise.

Berjuang.

Atau mungkin tepatnya – seperti kata mendiang sang ayah – berkarya….

Pongki Barata – Sunrise dirilis …. April 2011